Pengertian Transaksi Terapeutik Definisi Tujuan Dasar Hukum dalam Pelayanan Medis
Posted in Kesehatan on
Pengertian Transaksi Terapeutik adalah terjemahan dari therapeutic yang berarti dalam bidang pengobatan, Ini tidak sama dengan therapy atau terapi yang berarti pengobatan. Persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien bukan hanya di bidang pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif, rehabilitatif maupun promotif, maka persetujuan ini disebut perjanjian terapeutik atau transaksi terapeutik.
Pengertian Transaksi Terapeutik
Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. dari hubungan hukum dalam transaksi terapeutik tersebut, timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak, pasien mempunyai hak dan kewajibannya, demikian juga sebaliknya dengan dokter.
Didasarkan mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan R.I. Nornor : 434/MEN.KES/X/1983 Tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, maka yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan, dan kekhawatiran makhluk insani.
Pada umumnya mulainya hubungan transaksi terapeutik dimulai saat seorang pasien meminta pertolongan kepada dokter untuk mengobati penyakitnya dan dokter menyanggupinya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa transaksi terapeutik merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang saling mengikatkan diri didasarkan sikap saling percaya.
Definisi Transaksi Terapeutik Menurut Para Ahli
Pengertian transaksi terapeutik ada beberapa definisi dari sarjana, yaitu :
Pengertian Terapeutik Menurut Hermien Hadiati Koeswadji :
Transaksi terapeutik adalah perjanjian (Verbintenis) untuk mencari atau menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter. Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran ( Studi Tentang Hubungan dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak ), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 132.
Pengertian Terapeutik Menurut Veronica Komalawati :
Transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara professional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan ketrampilan tertentu di bidang kedokteran. Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 1.
Transaksi terapeutik merupakan kegiatan didalam penyelenggaraan praktek dokter berupa pemberian pelayanan medis. Sedangkan pelayanan medis itu sendiri merupakan bagian pokok dari kegiatan upaya kesehatan yang menyangkut sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraannya, yang harus tetap dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan tanggu ng jawabnya.
Dalam pengertiannya tersebut perjanjian terapeutik dapat ditarik beberapa unsur, yaitu :
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press, Jakarta. 2006, hal. 45.
- Adanya subjek perjanjian, meliputi pasien dengan tenaga kesehatan/ dokter/dokter gigi
- Adanya objek perjanjian, yaitu upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien
Kewajiban pasien, membayar biaya penyembuhan.
Dasar Hukum Transaksi Terapeutik
Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, tentang perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang didasarkan sistem terbuka. Sistem terbuka ini tersirat dalam ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa : Pasal 1319 KUH Perdata.
"Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu".
Dari ketentuan Pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan dimungkinkannya dibuat suatu perjanjian lain yang tidak dikenal dalam KUH Perdata. Akan tetapi, terhadap perjanjian tersebut berlaku ketentuan mengenai perikatan pada umumnya yang termuat dalam Bab I Buku III KUH Perdata, dan mengenai perikatan yang bersurnber pada perjanjian yang termuat dalam Bab II Buku III KUH Perdata.
Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut, harus dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan akibat yang ditimbulkannya diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang mengandung asas pokok hukum perjanjian. Selanjutnya, ketentuan Pasal 1233 Bab I Buku III KUH Perdata, menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dapat dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena Undang-Undang.
Dari ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan, dan Perikatan dapat ditimbulkan dari perjanjian. Bukan hanya perjanjian yang dapat menimbulkan perikatan, tetapi ketentuan perundang-undangan juga dapat menimbulkan perikatan. Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1339 dan Pasal 1347 Bab II Buku III KUH Perdata, terlihat konsekuensi logis ketentuan mengenai sumber perikatan tersebut karena para pihak dalam suatu perjanjian tidak hanya terikat pada hal-hal yang secara tegas diperjanjikan tetapi juga pada segala hal yang menurut sifat perjanjian diharuskan menurut Undang-Undang.
Selain itu, hal-hal yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan kesusilaan juga mengikat. Oleh karena itu, menyadari bahwa dari suatu perjanjian dapat timbul berbagai perikatan baik bersumber dari perjanjian itu sendiri, maupun karena menurut sifat perjanjiannya diharuskan menurut Undang-Undang, maka dalam menentukan dasar hukum transaksi terapeutik tidak seharusnya mempertentangkan secara tajam kedua sumber perikatan tersebut diatas. Walaupun kedua sumber tersebut dapat dibedakan, tetapi keduanya saling melengkapi dan diperlukan untuk menganalisis hubungan hukum yang timbul dari transaksi terapeutik.
Transaksi terapeutik Sebagai Perjanjian di Pasal 1601 Bab 7A Buku III KUH Perdata
Transaksi terapeutik itu dikategorikan sebagai perjanjian yang diatur dalam ketentuan Pasal 1601 Bab 7A Buku III KUH Perdata, maka termasuk jenis perjanjian untuk melakukan jasa yang diatur dalam ketentuan khusus. Ketentuan khusus yang dimaksudkan adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Selain itu, jika dilihat ciri yang dimilikinya yaitu pemberian pertolongan yang dapat dikategorikan sebagai pengurusan urusan orang lain (zaakwaarnerning) yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata, maka transaksi terapeutik merupakan perjanjian ius generis.
Adapun yang dimaksud dengan perjanjian pemberian jasa, yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang satu menghendaki pihak lawannya melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan dengan kesanggupan membayar upahnya, sedangkan cara yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut diserahkan pada pihak lawannya.
Dalam hal ini, biasanya pihak lawan tersebut adalah seorang ahli dalam bidangnya dan telah memasang tarif untuk jasanya.Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Op.cit., hal.140.
Transaksi Terapeutik Merupakan Hubungan Pelayanan Atas Kepercayaan
Sekalipun transaksi terapeutik dikategorikan sebagai perjanjian pemberian jasa, namun didasarkan perkembangannya merupakan hubungan pelayanan atas kepercayaan, dan didasarkan prinsip pemberian pertolongan, sehingga disebut sebagai hubungan pemberian pertolongan medis.
Didasarkan prinsip pemberian pertolongan, maka dokter tidak dibenarkan memberikan pertolongan rnedis melebihi kebutuhan dari orang yang ditolong, karena pemberian pertolongan bertujuan untuk memulihkan kemampuan orang untuk dapat mengatur dirinya sebaik-baiknya. Dengan demikian pelayanan medis yang diberikannya kepada pasien harus berorientasi demi kepentingan pasien. Oleh karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan pelayanan medis yang didasarkan atas prinsip pemberian pertolongan, maka berarti pasien sebagai penerima pertolongan tidak melepaskan tanggung jawab atas dirinya seluruhnya atau pasrah kepada dokter sebagai pemberi pertolongan yang memiliki kemampuan profesional di bidang medis. Ibid, hal. 141.
Didasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (1), dan Pasal 53 ayat (1) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, maka dokter bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahliannya dan atau kewenangannya, dengan mematuhi standar profesi, dan menghormati hak pasien antara lain hak informasi dan hak untuk memberikan persetujuan. Dengan demikian, berarti bahwa pada hakikatnya prinsip etis dalam hubungan antara dokter dan pasien merupakan salah satu sumber yang melandasi peraturan hukum di bidang kesehatan. UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Tujuan Transaksi Terapeutik
Oleh karena transaksi terapeutik merupakan bagian pokok dari upaya kesehatan, yaitu berupa pemberian Pelayanan kesehatan yang didasarkan atas keahlian, keterampilan serta ketelitian, maka tujuannya tidak dapat dilepaskan dari tujuan ilmu kesehatan itu sendiri sebagaimana tersebut di bawah ini. “Persetujuan Atas Dasar Informasi”, http://elearning- 1.esaunggul.ac.id/mod/resource/view.php?id=19633 ( 12 Maret 2011/09:14 ).
1. Menyembuhkan dan mencegah penyakit
Dalam hubungan ini, pemberi Pelayanan kesehatan berkewajiban untuk memberikan bantuan Pelayanan kesehatan yang dibatasi oleh kriterium memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan dapat mencegah atau menghentikan proses penyakit yang bersangkutan. Hal ini secara yuridis ditegaskan dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangannya. Untuk menjamin terselenggaranya kegiatan tersebut, maka setiap tenaga kesehatan termasuk dokter berhak memperoleh perlindungan hukum, sepanjang yang dilakukannya sesuai dengan standar profesi dan tidak melanggar hak pasien/klien.
Dengan demikian standar profesi sebagai pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik, sebenarnya merupakan penyelenggaraan otonomi professional kesehatan dan sekaligus merupakan pembatasan dalam menjalankan profesi. Standar profesi yang dimaksud di atas adalah standar Pelayanan kesehatan yang disusun oleh masing-masing asosiasi profesi kesehatan seperti IDI, PDGI, PPNI, IBI, IFI dan asosiasi profesi kesehatan lainnya. Standar profesi tersebut dapat dirumuskan sebagai cara bertindak dalam peristiwa yang nyata berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman.
2. Meringankan Penderitaan
Oleh karena tindakan medik yang dilakukan dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan pasien harus secara nyata ditujukan untuk memperbaiki Keadaan pasien atau agar Keadaan kesehatan pasien lebih baik dari sebelumnya, maka guna meringankan penderitaan pasien, penggunaan metode diagnostik atau terapeutik yang lebih menyakitkan seharusnya dihindarkan.
Pemberian bantuan atau pertolongan untuk meringankan penderitaan ini merupakan bagian dari suatu tugas pemberi Pelayanan kesehatan professional, sehingga berlaku standar Pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ketelitian dan sikap berhati-hati. Di dalam pengertian upaya kesehatan terlihat bahwa kegiatan yang dilakukan adalah untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, oleh karena itu dalam pengertian upaya meringankan penderitaan atau mengurangi perasaan sakit, termasuk juga menghindarkan penderitaan yang diakibatkan oleh upaya perawatan kesehatan.
Secara yuridis apabila dokter/terapis tidak memenuhi kewajibannya dengan berbuat sesuatu yang meringankan atau mengurangi perasaan sakit, sehingga menimbulkan kerugian fisik ataupun non fisik pada pasien, maka dokter dan atau tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dituntut penggantian kerugian ( Pasal 58 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 ).
3. Mendampingi Pasien
Di dalam pengertian ini termasuk juga mendampingi menuju kematiannya. Kegiatan mendampingi pasien ini seharusnya sama besar dengan kegiatan untuk menyembuhkan pasien. Sehubungan dengan hal tersebut seringkali tidak terpenuhinya kegiatan untuk meringankan penderitaan dan untuk mendampingi pasien dipersalahkan karena kurang atau tidak adanya waktu yang tersedia.
Sekalipun kegiatan teknis medis dapat merupakan Pelayanan yang baik terhadap pasien, namun hukum mewajibkan seorang dokter atau tenaga kesehatan selaku professional untuk melakukan baik kegiatan pemberian pertolongan maupun kegiatan teknis medik sesuai dengan waktu yang tersedia dengan mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien/klien.
Asas Hukum dalam Pelayanan Medis
Oleh karena transaksi terapeutik merupakan hubungan hukum antara dokter dan pasien, maka dalam transaki terapeutik pun berlaku beberapa asas hukum yang mendasari, yang menurut Komalawati disimpulkan sebagai berikut :Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Op.cit., hal. 126.
- Asas Legalitas
- Asas Keseimbangan
- Asas Tepat Waktu
- Asas Itikad Baik
Agak sedikit berbeda dengan Komalawati menyebutkan pendapat tentang beberapa asas etika modern dari praktik kedokteran yang disebutkannya sebagai berikut : Munir Fuady, Op.cit., hal. 6.
- Asas Otonom
- Asas Murah Hati
- Asas Tidak Menyakiti
- Asas Keadilan
- Asas Kesetiaan
- Asas Kejujuran
Berdasar Undang Undang no. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dengan berlakunya UU Praktik Kedokteran yang juga mencantumkan asas-asas penyelenggaraan Praktik Kedokteran di dalam Bab II Pasal 2, maka asas-asas tentang praktik kedokteran sudah mempunyai kekuatan mengikat. Namun asas- asas yang tercantum di dalam UU Praktik Kedokteran agak sedikit berbeda dengan beberapa asas yang telah diuraikan di atas.
Adapun Pasal 2 yang mengatur tentang asas-asas penyelenggaraan Praktik Kedokteran tersebut berbunyi : Penyelenggaraan praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien.
Pengertian tentang asas-asas tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 2, sebagai berikut :
- Asas Nilai ilmiah
- Asas Manfaat
- Asas Keadilan
- Asas Kemanusiaan
- Asas Keseimbangan
- Asas Perlindungan dan Keselamatan Pasien
Walaupun hukum telah menetapkan 6 (enam) asas yang tercantum di dalam Undang-Undang yang mengatur khusus praktik kedokteran sebagai lex specialis yang mengikat para dokter dalam menjalankan profesinya, akan lebih bijaksana kalau dokter juga mematuhi kesemua asas yang telah disebutkan di atas sebagai asas yang dianjurkan oleh para pakar hukum untuk dipatuhinya. Karena kepatuhan dokter dalam memegang asas sebagai prinsip dasar pelaksanaan profesinya akan memayungi dokter tersebut dari tuntutan pasien yang mungkin bisa timbul dalam praktik sehari hari yang dilakukannya.
Akibat Hukum Para Pihak dalam Kontrak Terapeutik
Sebagaimana layaknya suatu perjanjian, maka kontrak terapeutik tersebut dapat digolongkan kedalam bentuk perjanjian untuk melakukan jasa tertentu. Bentuk perjanjian yang demikian itu oleh undang-undang membaginya dalm tiga macam yaitu :
- Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu.
- Perjanjian kerja atau perburuhan.
- Perjanjian pemborongan pekerjaan.
Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menghendaki dari pihak lainnya untuk melakukan suatu pekerjaan agar tercapainya suatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak lawan itu. Biasanya pihak lawan itu adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah memasang tariff untuk jasanya itu dan jasanya berupa upah yang biasanya disebut honorarium.
Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu ini biasanya terjadi antara lain; hubungan antara seorang pasien dengan seorang dokter, yang diminta jasanya untuk menyembuhkan suatu penyakit. R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.cit., hal. 28.
Sehubungan dengan kontrak terapeutik, maka para pihak dalam hal ini adalah pasien ataupun keluarga dari pasien disatu pihak dan dokter di lain pihak. Hukum perjanjian yang menganut sistem terbuka dan menganut asas konsensualisme, maka dalam kontrak terapeutik telah ada perjanjian antara dokter dengan pasien, dalam arti satu pihak terikat untuk melaksanakan prestasi, dan pihak pasien atau keluarganya mempunyai hak untuk pemenuhan prestasi.
Pada kontrak terapeutik biasanya yang diperjanjikan antara lain tentang perawat, pengobatan, pemeriksaan dan tindakan medis lainnya.
Jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para pihak, baik pihak dokter maupun pihak pasien.
Akibat hukum dari suatu perjanjian pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum karena suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang merupakan suatu bentuk akibat hukum dari suatu perjanjian. Hak dan kewajiban inilah yang kemudian menimbulkan hubungan timbal balik antara para pihak, yaitu kewajiban pada pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pula sebaliknya kewajiban dari pihak kedua merupakan hak bagi pihak pertama.
Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang di dalam pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata sebagai berikut ;
Pasal 1338 :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya"
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Pasal 1339 :
" Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang".
Dari kedua pasal diatas dapat diambil pengertian sebagai berikut :
Perjanjian terapeutik (transaksi terapeutik) berlaku sebagai undang-undang baik bagi pihak pasien maupun pihak dokter, dimana undang-undang mewajibkan para pihak memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan hal yang diperjanjikan.
Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak lain, misalnya ; karena dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien atau kondisi pasien memburuk setelah ditanganinya, dokter tidak boleh lepas tanggung jawab dengan mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain tanpa indikasi medis yang jelas. Untuk mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain, dokter yang bersangkutan harus minta persetujuan pasien atau keluarganya.
Kedua belah pihak, baik dokter dan pasien harus sama-sama beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian terapeutik. Wawancara dalam pengobatan harus dilakukan berdasarkan itikad baik dan kecermatan yang patut oleh dokter, dan pasien harus membantu menjawab dengan itikad baik pula agar hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan dibuatnya transaksi terapeutik.
Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian yaitu kesembuhan pasien, dengan mengacu kepada kebiasaan dan kepatutan yang berlaku baik kebiasaan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis maupun dari pihak kepatutan pasien. Dokter harus menjaga mutu pelayanan dengan berpedoman kepada standar pelayanan medik yang telah disepakati bersama dalam rumah sakit maupun orgnisasi profesi sebagai kebiasaan yang berlaku, serta memikirkan kelayakan dan kepatutan yang ada di masyarakat.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang transaksi terapeutik, maka akan dipaparkan kekhususan transaksi terapeutik dengan perjanjian pada umumnya sebagai berikut : Salim HS, Op.cit., hal. 59.
Subjek pada transaksi terapeutik terdiri dari dokter dan pasien. Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan. Sedangkan paien sebagai penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan.
Pihak dokter mempunyai kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenga profesional dibidang medik yang berkompeten untuk memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter berkewajiban membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang telah diberikan dokter tersebut.
Objek Perjanjian Berupa Upaya Medik Profesional Yang Mencirikan Pemberian Pertolongan.
Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).
Daftar Pustaka Untuk Makalah Transaksi Terapeutik
- Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran ( Studi Tentang Hubungan dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak ), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 132.
- Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 1.
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press, Jakarta. 2006, hal. 45. - Pasal 1319 KUH Perdata.
- Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Op.cit., hal.140.
- Ibid, hal. 141.
- UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
- “Persetujuan Atas Dasar Informasi”, http://elearning- 1.esaunggul.ac.id/mod/resource/view.php?id=19633 ( 12 Maret 2011/09:14 ).
- Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Op.cit., hal. 126.
- Munir Fuady, Op.cit., hal. 6.
- R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.cit., hal. 28.
- Salim HS, Op.cit., hal. 59.
Leave a Reply