Posyandu Lansia Pemanfatan Pelayanan Upaya Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Lansia

Posted in Kesehatan on

Posyandu Lansia

Posyandu Lansia - Usia lanjut merupakan periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Seseorang yang sudah beranjak jauh dari periode hidupnya yang terdahulu sering melihat masa lalunya, biasanya penuh penyesalan dan cenderung ingin hidup pada masa sekarang dan mencoba mengabaikan masa depan sedapat mungkin (Haas, 1976 dalam Hurlock, 1980).

 

Definisi Lanjut Usia

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1965 yang menyatakan seseorang sebagai orang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mancapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 1998 mengenai kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia enam puluh tahun keatas (Suardiman, 2001).

Berdasarkan kebijakan operasional Departemen Sosial lanjut usia adalah mereka yang berusia 60 tahun keatas baik yang potensial maupun yang tidak potensial (Syamsuddin, 2003). Sesuai dengan batasan lanjut usia menurut WHO South East Asia Regional Office (Organisasi Kesehatan Dunia untuk Regional Asia Selatan dan Timur) adalah usia lebih dari 60 tahun (Rully, 2004).

 

Batasan-batasan usia lanjut

WHO membagi lansia berdasarkan tingkatan umur, yakni: usia pertengahan (middle age) antara 54-59 tahun, lanjut usia antara 75-90 tahun dan sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro membagi lanjut usia menjadi tiga bagian yakni umur 65 atau 70-75 tahun (young old), 75-80 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old) (Nugroho, 2000). Sedangkan Hurlock (1980) membagi lanjut usia menjadi dua bagian yaitu usia lanjut dini berkisar antara usia 60-70 tahun dan usia lanjut mulai pada usia 70 tahun sampai akhir kehidupan.

 

Proses Menua dan Perubahan-Perubahan Pada Lansia

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994 dalam Nugroho, 2000). Bondan (2005) mengatakan bahwa proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu, kemunduran ini digambarkan melalui empat tahap yaitu kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (limitations), ketidakmampuan (disability) dan keterhambatan (handicap). Proses menua ini adalah proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Dapat disimpulkan proses menua merupakan proses yang terus-menerus (berlanjut) secara alamiah dan dialami pada semua makhluk hidup (Nugroho, 2000).

Perubahan yang pada umumnya dihadapi oleh lansia dapat dikelompokkan ke dalam perubahan ekonomi, perubahan sosial budaya, perubahan kesehatan dan perubahan psikologis (Suardiman, 2001). Perubahan ekonomis pada lansia ditandai dengan menurunnya produktivitas kerja, memasuki masa pensiun atau berhentinya pekerjaaan utama. Hal ini berakibat pada menurunnya pendapatnya dan membuat lansia tergantung atau menjadi beban anak cucu atau anggota keluarga lainnya. Dalam penelitian di lapangan/komunitas, didesa maupun kota 78,3% mengaku hidup serba pas-pasan, 14,1% mengaku hidupnya berlebih, 7,6% mengaku hidupnya dalam kekurangan dan hanya 1,4% mengaku dapat hidup memanfaatkan tabungan sebelumnya (Darmojo & Martono, 1991).

Perubahan sosial budaya pada lansia ditandai dengan berkurangnya kontak sosial, baik dengan anggota keluarga, anggota masyarakat maupun teman kerja akibat terputusnya hubungan kerja karena pensiun. Disamping itu kecenderungan meluasnya keluarga inti akan mengurangi kontak sosial lansia. Hal ini dapat juga karena makin melemahnya nilai kekerabatan, sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan dihormati (Suardiman, 2001).

Perubahan kesehatan/faal tubuh pada lansia adalah alamiah, maka manusia yang mulai menjadi tua akan mengalami berbagai perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik yang mengalami penurunan fungsi fisik tubuh secara keseluruhan yang bersifat patologis berganda (multyple pathology) yang ditandai dengan adanya kemunduran fungsi alat indra, berkurangnya ealstisitas organ paru-paru, jantung, ginjal dan tulang. Tekstur kulit menjadi kering, kekakuan dan kerapuhan pada sendi sehingga kerentanan terhadap penyakit akan meningkat yang biasanya bersifat kronis dan progresif (Nugroho, 2000). Pendapat Rossman (1980) dan Whitbourne (1985) (dalam Rully, 2004) dapat diketahui bahwa penampilan fisik mulai berubah dari penampilan tubuh sekitar pada pertengahan kehidupan. Perubahan tersebut dicirikan oleh rambut yang mulai menipis dan beruban, berat badan meningkat hingga sekitar 50 tahun dan sedikit menurun setelah itu akibat munculnya pendistribusian lemak kembali, tampak kerutan-kerutan pada wajah, kaki, lengan, bagian bawah, perut, pantat dan lengan bagian atas, tulang menjadi rapuh dan keropos serta pada wanita kadang-kadang terjadi perpendekan atau pelipatan tulang belakang.

Perubahan psikologis yang dihadapi lansia pada umumnya meliputi : kesepian, terasing dari lingkungan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri, ketergantungan, keterlantaran terutama bagi lansia yang miskin, post power syndrome, dan sebagainya. Kehilangan perhatian dan dukungan dari lingkungan sosialnya yang biasanya berkaitan dengan hilangnya otoritas atau kedudukan, dapat menimbulkan konflik atau keguncangan. Aspek psikologi merupakan faktor penting dalam kehidupan seseorang dan menjadi semakin penting dalam kehidupan seorang lansia. Aspek psikologis ini lebih menonjol dari pada aspek materiil dalam kehidupan seorang lansia (Suardiman, 2001).

BACA JUGA :   Kanker Payudara: Prevalensi Penggunaan Pengobatan Alternatif dan Komplementer dan Alasan Dominan

 

Pelayanan Kesehatan di Komunitas

Panti Lansia

Primary Health Care

Primary Health Care atau pelayanan kesehatan utama adalah suatu pendekatan pelayanan kesehatan dimana fokusnya adalah promosi kesehatan dan pencegahan terhadap penyakit melalui rangkaian perawatan kesehatan dimana yang menjadi perhatian dari Primary Health Care (PHC) adalah kesehatan komunitas atau populasi dalam satu area tertentu (Institute of Medicine, 1994 dalam Jan, R. A. et al, 2000). Dengan kata lain PHC adalah pelayanan kesehatan pokok yang berdasarkan kepada metoda dan teknologi praktis, ilmiah, dan sosial yang dapat diterima secara umum baik melalui individu maupun keluarga dalam masyarakat, melalui partisipasi mereka sepenuhnya, serta dengan biaya yang dapat terjangkau oleh masyarakat dan negara untuk memelihara setiap tingkat perkembangan mereka dalam semangat untuk hidup mandiri dan menentukan nasib sendiri (Effendy, 1998).

Tujuan dari PHC yaitu memungkinkan seluruh anggota masyarakat untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan, melibatkan individu, keluarga, dan masyarakat dalam mengidentifikasi prioritas kesehatan dan perencanaan serta implementasi perawatan kesehatan, pelayanan kesehatan lebih diutamakan pada upaya preventif dan promotif daripada kuratif, mengintegrasikan perkembangan kesehatan dengan perkembangan sosial ekonomi, serta memberi perhatian terhadap kepercayaan klien dalam menerima praktik perawatan kesehatan (Abramson & Kark, 1983 dalam Jan, R. A. et al, 2000). Sesuai dengan pendapat McElmurry, Swider, dan Watanakij (1992 dalam Jan, R. A. et al, 2000), diperlukan strategi dalam mendukung perawatan diri dan manajemen diri. Seorang individu diajarkan untuk menggunakan pengetahuan, keahlian, dan sikap dalam meningkatkan derajat kesehatan individu maupun masyarakat. Strategi PHC kini telah dikembangkan dengan dibangunnya pelayanan kesehatan bagi public seperti puskesmas maupun posyandu.

Di Indonesia puskesmas merupakan tulang punggung pelayanan kesehatan tingkat pertama. Azwar (1996) mendefenisikan puskesmas sebagai suatu kesatuan organisasi fungsional yang langsung memberikan pelayanan secara menyeluruh kepada masyarakat dalam suatu wilayah kerja tertentu dalam bentuk usaha-usaha kesehatan pokok. Berdasarkan Buku Pedoman Kerja Puskesmas ada 20 usaha pokok kesehatan yang dapat dilakukan oleh puskesmas. Salah satu kegiatan pokok puskesmas adalah upaya kesehatan usia lanjut (Effendy, 1998). Maka berdasarkan kebutuhan lansia terhadap pelayanan kesehatan, puskesmas membuat program posyandu lansia. Perencanaan program lansia di puskesmas Mojo di Jawa Tengah telah dilaksanakan walaupun sarana untuk posyandu lansia belum ada sehingga belum dapat dilaksanakan pengembangan posyandu lansia (Hartiningsih, 2001).

Posyandu lansia merupakan suatu wadah pelayanan kepada lanjut usia di masyarakat, pembentukan dan pelaksanaannya oleh masyarakat yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup lansia dengan membantu lansia dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal, menemukan secara dini penyakit pada lansia, sebagai wahana informasi bagi lansia dan keluarga dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan lansia serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memelihara kesehatan lansia (Ismuningrum, 2001). Salah satu manfaat dari program posyandu lansia yang dirasakan oleh lansia terdapat pada artikel yang berjudul DIY: Provinsi Lansia oleh Suardiman (2001) menyatakan bahwa secara ideal untuk menuju kepada lansia yang mandiri, sejahtera dan bermanfaat yang perlu dipersiapkan secara dini oleh masing-masing individu itu sendiri dengan dukungan keluarga dan lingkungan masyarakat.

Kegiatan program posyandu lansia yang dilakukan Puskesmas Darussalam berupa pelayanan kesehatan dan pencacatan pada Kartu Menuju Sehat (KMS) yang terdiri dari pemeriksaan lab (HB, reduksi urine, protein urine), pengukuran tinggi dan berat badan, pengukuran tekanan darah, pengukuran mental, konsultasi kesehatan, penyuluhan kelompok lansia, rujukan ke rumah sakit, pengobatan (seperti : anemia, DM, gangguan ginjal, dll) serta pembinaan senam lansia (Puskesmas Darussalam, 2005).

 

Upaya Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Lansia

Menurunnya fungsi tubuh pada lansia yang seiring dengan aging process menyebabkan lansia rentan terhadap berbagai macam penyakit (Nugroho, 1995). Berbagai perubahan yang terjadi baik perubahan fisik, psikologis, dan sosial dapat menurunkan kemandirian, produktifitas kerja, dan kualitas fisiknya (Depkes RI, 1993, dalam Rasmaliah, 1996). Angka kejadian penyakit kronis dan gangguan mental meningkat maka adanya dukungan rehabilitatif menjadi sangat diperlukan (BMJ, 2001).

Melihat berbagai kekhususan penampilan penyakit pada usia lanjut maka terdapat dua prinsip pelayanan yang harus dipenuhi untuk melaksanakan pelayanan kesehatan pada lansia yaitu Prinsip Holistik dan Tatakerja dan Tatalaksana sacara TIM (Darmojo dan Martono, 1999). Pertama yaitu Prinsip Holistik yang mengandung artian baik secara vertikal atau horisontal. Secara vertikal berarti pelayanan harus dimulai dari pelayanan di masyarakat sampai ke pelayanan rujukan tertinggi, yaitu rumah sakit.

Holistik secara horisontal berarti bahwa pelayanan kesehatan harus merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan lansia secara menyeluruh yang mencakup aspek pencegahan (preventif), promotif, penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Pendapat Bondan (2006) mengenai keperawatan gerontik secara holistik yaitu menggabungkan aspek pengetahuan dan ketrampilan dari berbagai macam disiplin ilmu dalam mempertahankan kondisi kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual lansia Hal ini diupayakan untuk memfasilitasi lansia ke arah perkembangan kesehatan yang lebih optimum, dengan pendekatan pada pemulihan kesehatan, memaksimalkan kualitas hidup lansia.

 

Tatakerja dan Tatalaksana Secara TIM.

Tim geriatri merupakan bentuk kerjasama multidisipliner yang bekerja secara interdisipliner dalam mencapai tujuan pelayanan geriatri yang dilaksanakan. Menurut Rully (2004) pendekatan interdisiplin merupakan model pendekatan yang melihat manusia secara utuh dan tidak diobati dengan hanya melihat per bagian tubuh yang sakit. Pendekatan interdisiplin sebagai salah satu model pendekatan pelayanan pasien lanjut usia, seyogyanya dapat diterapkan di berbagai institusi kesehatan yang melayani orang lanjut usia.

Pelayanan lansia ini meliputi kegiatan upaya-upaya antara lain upaya promotif, upaya preventif, upaya kuratif, upaya rehabilitasi (Asfriyati, 2000). Upaya promotif, yaitu menggairahkan semangat hidup bagi lansia agar mereka tetap dihargai dan tetap berguna baik bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Upaya promotif dapat berupa kegiatan penyuluhan tentang kesehatan dan pemeliharaan kebersihan diri, makanan dengan menu yang mengandung gizi yang seimbang, kesegaran jasmani yang dilakukan secara teratur dan disesuaikan dengan kemampuan lansia, pembinaan mental dalam meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, membina keterampilan agar dapat mengembangkan kegemaran sesuai dengan kemampuan, meningkatkan kegiatan sosial di masyarakat.

BACA JUGA :   Pengertian Makanan Jajanan Jenis Ciri Yang Sehat dan Pengaruh Positif dan Negatifnya

Upaya preventif yaitu upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya penyakit maupun komplikasi penyakit yang disebabkan oleh proses penuaan.

Upaya preventif dapat berupa kegiatan pemeriksaan kesehatan secara berkala dan teratur untuk menemukan secara dini penyakit-penyakit lansia, kesegaran jasmani yang dilakukan secara teratur, penyuluhan tentang penggunaan berbagai alat bantu misalnya kacamata, alat bantu dengar, dan lain-lain agar lansia tetap merasa berguna, penyuluhan untuk mencegah terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan pada lansia, pembinaan mental dalam meningkatkan ketaqwaan.

Upaya kuratif yaitu upaya pengobatan bagi lansia. Upaya kuratif dapat berupa kegiatan pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesehatan spesialis melalui sistem rujukan Upaya rehabilitasi yaitu upaya mengembalikan fungsi organ yang telah menurun.

Upaya rehabilitasi dapat berupa kegiatan memberikan informasi, pengetahuan, dan pelayanan tentang penggunaan berbagai alat bantu misalnya kacamata, alat bantu dengar dan lain-lain, mengembalikan kepercayaan pada diri sendiri dan memperkuat mental lansia, pembinaan lansia dalam hal pemenuhan kebutuhan pribadi, aktifitas didalam maupun di luar rumah, nasihat cara hidup yang sesuai dengan penyakit yang diderita, dan perawatan fisio terapi.

 

Peran Perawat

Bila penjaminan kualitas berbicara tentang pelaksanaan kerja secara profesional oleh para tenaga berkualitas, maka peran dan kontribusi para perawat merupakan hal yang penting. White (1982 dalam Lueckentte, 2000) menyatakan bahwa peran perawat tidak hanya terbatas di institusi rumah sakit saja melainkan perawat juga berperan dalam mempertahankan derajat kesehatan komunitas dimana kualitas perawat yang diperlukan harus memiliki kompetensi yang tinggi karena klien yang dihadapi adalah komunitas atau masyarakat luas. Perawat komunitas juga berperan dalam meminimalkan terjadinya transmisi atau penularan penyakit di komunitas.

Berdasarkan Quad Council (1999 dalam Lueckentte, 2000) seorang perawat komunitas bekerja sesuai dengan langkah-langkah berikut:
Menggunakan proses yang komprehensif dan sistematis melakukan pengkajian terhadap kesehatan masyarakat dan membuat intervensi yang sesuai dengan keadaan masyarakat.

  1. Membangun hubungan kerjasama dengan pihak lain yaitu bahwa perawat harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dengan melakukan pendekatan dan menjalin rasa percaya satu sama lain agar masyarakat mau menerima apa yang disampaikan oleh perawat.
  2. Fokus pada langkah pencegahan yaitu perawat komunitas harus mampu mengenali kelompok resiko tinggi terhadap suatu macam penyakit, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan.
  3. Menciptakan lingkungan yang sehat dengan memberikan informasi tentang lingkungan yang sehat dan yang nyaman untuk tempat tinggal.
  4. Menentukan target pelayanan yaitu perawat harus dapat menentukan siapa yang membutuhkan pelayanan yang disediakan.
  5. Membuat prioritas kebutuhan yaitu mendahulukan masyarakat yang benar-benar membutuhkan pelayanan segera.
  6. Memelihara sumber daya.
  7. Kolaborasi dengan pihak lain seperti kader maupun organisasi masyarakat.

Perawat komunitas harus dapat mengenali kelompok khusus yang beresiko mengalami penurunan derajat kesehatan seperti para lansia. Perawat komunitas perlu memahami proses penuaan dan masalah yang mungkin muncul karena proses penuaan tersebut sehingga dengan demikian perawat dapat menyediakan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan lansia supaya lansia mampu bertanggung jawab dalam usaha mempertahankan derajat kesehatan mereka (Stone & McGuire, 1998). Perawat lansia di komunitas juga melibatkan perawat jiwa komunitas dan anggota tim kesehatan mental komunitas (Watson, 2003).

 

Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lansia

Pemanfaatan adalah penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang disediakan baik dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, kunjungan rumah oleh petugas/tenaga kesehatan ataupun bentuk kegiatan lain dari pemanfaatan pelayanan kesehatan tersebut (Azwar, 1996).

Rosenstock (dalam Muzaham, 1995) mengatakan beberapa teori tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan antara lain kepekaan seseorang terhadap penyakit, persepsi seseorang terhadap konsekuensi dari penyakit, persepsi seseorang terhadap keuntungan yang diperoleh dari penggunaan pelayanan kesehatan dan persepsi seseorang terhadap hambatan-hambatan di dalam mengunakan pelayanan kesehatan.

Azwar (1996) mengatakan suatu pelayanan kesehatan harus memiliki berbagai persyaratan pokok yang dapat memberi pengaruh kepada konsumen dalam menentukan pilihannya terhadap penggunaan pelayanan kesehatan, yaitu: tersedia dan berkesinambungan, dapat diterima dan wajar (pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat), mudah dicapai dari sudut lokasi untuk menentukan permintaan yang efektif, terjangkau dari sudut biaya sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat, bermutu yang menunjukkan pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.

Menurut Lapau (1997, dalam Rifai, 2005) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat menggunakan pelayanan kesehatan, yaitu: faktor sosiodemografis (umur, jenis kelamin, status perkawinan, besar family, kebangsaan, suku bangsa, agama), faktor sosiopsikologis (persepsi terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan dan sumber informasi dari pelayanan kesehatan), faktor ekonomi (pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan), dapat digunakan pelayanan kesehatan (meliputi jarak antara rumah penderita dengan tempat pelayanan kesehatan), dan variabel yang menyangkut kebutuhan (meliputi morbidity, gejala penyakit yang dirasakan oleh penderita yang bersangkutan, status terbatasnya keaktifan yang kronis, hari-hari dimana tidak dapat melakukan tugas dan diagnosa).

Sedangkan menurut Denver (1984) dalam Juanitas (1998) faktor determinan yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu:

  • Faktor sosiobudaya termasuk norma-norma atau nilai-nilai yang ada di masyarakat sangat besar pengaruhnya terhadap pemanfaatan pelayanan, pengaruh teknologi terhadap pemanfaatan suatu pusat pelayanan bisa positif maupun negatif.
  • Faktor organisasi.
  • Faktor interaksi pemberi (provider) dan penerima pelayanan kesehatan (masyarakat).

Faktor-faktor tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut;

  1. Predisposing factor (knowledge),
  2. Enabling factors (affordable, accesible, needs),
  3. Reinforcing factor (amenities) (Green, 1980 dalam Tukiman, 1994).
BACA JUGA :   Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

 

Predisposing Factor (knowledge),

Predisposing Factors (faktor pencetus), faktor predisposisi adalah faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang timbul dari dalam diri individu. Faktor predisposisi adalah faktor yang mendahului perilaku yang menjelaskan alasan atau motivasi untuk berperilaku terutama dalam perilaku kesehatan, hal inilah yang menyebabkan masing-masing individu memiliki kecenderungan yang berbeda dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dipengaruhi oleh pengetahuan.

Pada prinsipnya seseorang menggunakan jasa pelayanan kesehatan dipengaruhi perilakunya yang terbentuk antara lain dari pengetahuannya.

Kecenderungan seseorang untuk tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan didasari oleh pengetahuan orang yang bersangkutan akan pengetahuan yang berhubungan dengan suatu program maupun dengan pelayanan kesehatan tersebut. Sementara itu sejumlah pengetahuan yang ada pada setiap orang yang terbentuk dari seberapa jauh orang tersebut mendapatkan informasi yang berkaitan dengan masalah kesehatan (Tukiman, 1994).

Hasil penelitian Notoatmodjo, dkk (1990 dalam Tukiman, 1994) menunjukkan pengetahuan berhubungan dengan tinggi rendahnya penggunaan posyandu. Semakin banyak informasi yang diterima oleh masyarakat tentang pelayanan kesehatan semakin baik persepsinya terhadap pelayanan tersebut. Pengetahuan individu tentang pentingnya untuk mempertahankan kesehatan juga diperlukan agar individu memiliki persepsi yang positif terhadap pelayanan kesehatan sehingga ia mau memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada dengan optimal (Effendy, 1998).

 

Enabling Factors (affordable, accesible, needs),

Enabling factors (faktor yang memudahkan), faktor predisposisi harus didukung pula oleh hal-hal lain agar individu memanfaatkan pelayanan kesehatan. Faktor pendukung/faktor yang memudahkan antara lain affordable (keterjangkauan pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan biaya pelayanan kesehatan), accesible (ketercapaian pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan jarak ke tempat pelayanan kesehatan ), needs (kebutuhan kesehatan yang lebih menitik beratkan pada pelayanan yang diberikan oleh perawat atau petugas kesehatan dimana pelayanan yang diberikan harus mencakup pemenuhan kebutuhan secara menyeluruh agar pencapaian peningkatan kesehatan dapat terjangkau) (Sociological Research Online, 1997).

Andersen (1975, dalam Muzaham, 1995) mengatakan bila enabling factors telah terpenuhi maka individu cenderung menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada pada saat sakit. Untuk penyakit yang tergolong berat maka kondisi ekonomi merupakan penentu akhir bagi individu dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.

 

Reinforcing Factors (amenities)

Reinforcing factors, adalah faktor penguat perubahan perilaku seseorang di bidang kesehatan. Beberapa faktor penguat ini antara lain menyangkut sikap petugas, tokoh masyarakat, teman sebaya, dan lain-lain (Green, 1980 dalam Tukiman, 1994). Kenyamanan pelayanan (amenities) merupakan salah satu dari kewajiban etik. Kenyamanan yang dimaksudkan tidak hanya menyangkut fasilitas yang disediakan, tetapi yang terpenting yaitu menyangkut sikap serta tindakan para pelaksana tindakan perawatan ketika menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

Menurut Rockeach (1972, dalam Tukiman, 1994) sikap sebagai suatu kumpulan (organisasi) keyakinan-keyakinan yang relatif abadi terhadap suatu objek atau situasi yang mempengaruhi (predisposisi) seseorang untuk memberikan respon dengan cara-cara yang disukainya. Sikap disini diartikan sebagai sikap petugas kesehatan dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan. Semakin baik sikap seseorang terhadap suatu program biasanya akan cenderung mengikuti suatu program secara baik. Sementara itu sikap petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan besar pengaruhnya terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan serta mempengaruhi persepsi lansia akan pelayanan kesehatan yang diberikan (Bintang, 1989 dalam Tukiman, 1994).

 

Daftar Pustaka Makalah

  • Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang kehidupan. Jakarta: PT. Gelora Aksara PratamaIbrahim, J. T. (2003). Sosiologi Pedesaan. Malang: UGM Press
  • Jan,RAetal.(2000). Community-Based Care:Concepts And Definitions. Dibuka pada tanggal 12 Februari 2007, dari http://www.blackhealthcare.com/BHC/CBHP/References/Ch1NINR.htm
  • Hartiningsih, S. (2001). Pelayanan Kesehatan Lansia Berdasarkan Kebutuhan Dan Harapan Lansia Serta Kemampuan Provider. Dibuka pada tanggal 18 November 2006, dari http://digilib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s2- 2001-hartiningsih2c-621-health&PHPSESSID
  • Tukiman. (1994) . Tesis: Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Peserta JPKMGR dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan di Kecematan Cisarua. FKM USU.
  • Muzaham, F. (1995). Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI Press.
  • Sociological Research Online. (1997). Providing Culturally Sensitive Health Care to Elderly. Dibuka pada tanggal 22 November 2006, dari http://www.socresonline.org.uk/2/1/5.html.
  • Effendy, N. (1998). Dasar-Dasar Keperawatan kesehatan Masyarakat. Jakarta:EGC
  • Juanitas. (1998). Perilaku Masyarakat dalam Pemanfaataan Pelayanan Kesehatan. Medan: FKM USU
  • Rifai, A. (2005). Tesis: Pengaruh Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan Pelayanan Pengobatan di Puskesmas Binjai Kota. Medan: Pasca sarjana USU
  • Azwar, A. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan, edisi ketiga. Jakarta: Binarupa Aksara
  • Watson, R. (1997). Perawatan Pada Lansia. Jakarta: EGC
  • Stone, McGuire., & Eigsti. (1998). Comprehensive Community Health Nursing: Family. Aggregate & Community Practice (5th ed). USA: Mosby
  • Lueckenotte, A. G. (2000). Gerontologic Nursing, 2nd ed. New York: Mosby
  • Asfriyati. (2003). Tesis: Upaya Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut. Medan: FKM USU
  • Rully, R. (2004). Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Umum dalam Perspektif HAM. Dibuka pada tanggal 17 November 2006, dari http: //www.balitbangham.go.id/JURNAL/Jurnal%20HAM%20I%20RULLY.d oc
  • Bondan. (2005). Ranah Penelitian Keperawatan Gerontik. Dibuka pada tanggal 18 November 2006, dari http://www.inna-ppni.or.id/ index.php?name=News&file=article&sid=33
  • Darmojo & Martono. (1991). Buku Ajar Geriatri: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut.Jakarta: FK UI
  • Rasmaliah. (1996) . Lansia di dalam Kehidupan Keluarga. Bagian Epidemiologi: FKM USU
  • Nugroho. (2003). Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC
  • British Medical Journal (BMJ). (2001). Maintaning The Dignity and Autonomy of Older People in The Health Care Setting. Vol. 332: 668-670. Dibuka pada tanggal 18 November 2006, dari http://www.bmjjournal.com/cgi/content/full/322/7287/668.
  • Suardiman, S. P. (2001). Yogya Kita: Provinsi lansia. Dibuka pada tanggal 18 November 2006, dari http://www.indomedia.com/bernas/062001/04/ UTAMA/04opi1.htm

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *