Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Posted in Kesehatan on
Pengertian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Badan Pengawas Obat & Makanan Merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), yang sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 merupakan lembaga pemerintahan pusat yang membentuk badan-badan pemerintahan tertentu dari Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Latar Belakang Terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan
Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan signifikan pada industri farmasi, obat-obatan asli Indonesia, makanan, kosmetik dan alat kesehatan. Dengan menggunakan teknologi modren, industri ini kini mampu memproduksi dengan skala yang sangat besar melengkapi berbagai produk dengan “range” yang sangat luas.
Dengan dukungan kemajuan transformasi dan entry barrier yang semakin tipis dalam perdagangan internasional, maka produk-produk tersebut dalam waktu yang sangat singkat dapat menyebar ke berbagai negara dan dengan sistem jaringan distribusi yang sangat luas akan mampu menyediakan seluruh masyarakat di dunia.
POM Balai Besar, Penyebaran Informasi dan Layanan Informasi Konsumen, Medan, Balai POM, 2006, hal. 1.
Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk terus meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup manusia sesuai dengan pola konsumsinya, sementara itu pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk yang tepat, benar dan aman.
Di sisi lain pihak produsen menggunakan iklan dan promosi gencar mendorong konsumen untuk membeli berlebihan dan sering kali tidak rasional.
Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan gaya hidup konsumen tersebut pada realitasnya meningkatkan risiko dengan aplikasi yang luas pada kesehatan dan keselamatan konsumen.
Jika terjadi produk sub standar atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta berlangsung dengan sangat cepat.
Untuk itu di Indonesia harus memiliki sistem pengawasan obat dan makanan (SISPOM) yang efektif dan efesien, mampu melindungi, mencegah dan melindungi produk-produk termasuk untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri.
Maka telah di bentuk Badan POM yang memiliki jaringan nasional maupun internasional serta otoritas penegakan hukum dan kredibilitas profesional yang tinggi.
Sejarah Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan
Namun sebelum berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan apoteker yang mendukung layanan kesehatan di bidang kefarmasian yang membantu pemerintah dalam melindungi masyarakat dalam pengawasan obat yang mendukung di masyarakat. Berikut ini adalah sejarah yang terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan:
Sebuah. Periode Zaman Penjajahan hingga Perang Kemerdekaan
Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada awalnya diawali dengan pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hidia Belanda.
Pendidikan asisten apoteker semula dilakukan di tempat kerja yaitu di apotik oleh apoteker yang mengelola dan memimpin sebuah apotek.
Setelah calon apoteker bekerja dalam jangka waktu tertentu di apotek dan dianggap memenuhi persyaratan, maka diadakan ujian pengakuan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dari buku verzameling Voorschriften tahun 1936 yang dikeluarkan oleh Devanahalli Venkataramanaiah Gundappa (DVG) yang merupakan penulis dan jurnalis.
Dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten Apoteker didirikan dengan surat Keputusan Pemerintah No. 38 tanggal 7 Oktober 1918, yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan No. 15 (Stb No. 50) tanggal 28 Januari 1923 dan No. 45 (Stb. No. 392) tanggal 28 Juni 1934 dengan nama Leergang voor de opleleiding van apotheker-bedienden onder den naam van apothekersassistenschool ”.
8512 / F tanggal 16 Maret 1933 yang kemudian diubah lagi dengan Surat Keputusan No. 27817 / F tanggal 8 September 1936 dan No. 11161 / F tanggal 6 April 1939.
Dalam peraturan tersebut, antara lain dinyatakan pada persyaratan untuk melanjutkan ujian apoteker harus berijazah MULO bagian B, memiliki surat keterangan tentang calon yang telah melakukan pekerjaan kefarmasian terus menerus selama 20 bulan di bawah pengawasan seorang apoteker di Indonesia yang mencari apotek, atau meminta bantuan pendidikan asisten apoteker di Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang mulai dirintis Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia dan diresmikan pada tanggal 1 April 1943 dengan nama Yakugaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah menjadi Yaku Daigaku.
b. Periode Setelah Perang Kemerdekaan sampai dengan tahun 1958
Pada periode tahun 1950an jumlah tenaga farmasi, sebagian besar tenaga asisten apoteker mulai bertambah dalam jumlah yang relatif besar. Namun pada tahun 1953, tenaga apoteker kekurangan pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 3 tentang Pembukuan Apotek.
Sebelum dikeluarkannya undang-undang ini, untuk membuka apotek dapat dilakukan di mana saja dan tidak perlu izin dari pemerintah.
Dengan adanya undang-undang ini, maka pemerintah dapat memutuskan kota-kota tertentu untuk mendapatkan apotek karena sudah cukup disetujui.
Izin pembukaan apotek hanya diberikan untuk daerah-daerah yang belum ada atau belum cukup jumlah apoteknya.
Undang-undang No. 3 ini kemudian diambil dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 4 tahun 1953 tentang apotek darurat, yang membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek.
Undang-undang tentang apotek darurat ini harus berakhir pada tahun 1958 karena klausula yang termasuk dalam undang-undang yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut berlaku lagi 5 tahun setelah apoteker pertama diproduksi oleh Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia.
770 / Ph / 63 / b tanggal 29 Oktober 1983.
c. Periode tahun 1958 sampai dengan 1967
Pada periode ini, menghadapi upaya untuk memproduksi obat harus dirintis dalam industri-industri farmasi menentang dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa dan sistem perpindahan penjatahan bahan baku obat yang dapat meningkatkan industri yang dapat jatah atau yang ingin memiliki relasi dengan luar negeri.
Oleh karena itu, persediaan obat menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari impor.
Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik, banyak yang terjadi bahan baku atau obat jadi yang tidak memenuhi standar.
Pada periode ini pula ada hal penting yang dicatat dalam sejarah kefarmasian Indonesia, yaitu berakhirnya apotek-dokter dan apotek darurat.
Dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 33148 / Kab / 176 tanggal 8 Juni 1962, antara lain:
- Tidak dikeluarkannya lagi Izin baru untuk membuka apotek-dokter
- Semua Izin apotek-dokter disetujui tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 1963
770 / Ph / 63 / b tanggal 29 Oktober 1963 yang isinya antara lain:
- Tidak lagi dikeluarkan lagi Izin baru untuk membuka apotek darurat
- Semua Perizinan darurat Ibukota Daerah Tingkat I disetujui tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Februari 1964
- Semua izin apotek darurat di Ibukota Daerah Tingkat II dan kota-kota lainnya diizinkan tidak berlaku sejak tanggal 1 Mei 1964
Pada tahun 1963, undang-undang Pokok Kesehatan telah membentuk Lembaga Farmasi Nasional (Surat Keputusan Menteri No. 39521 / Kab / 1999 tanggal 11 Juni 1963).
Dengan demikian pada waktu itu ada dua lembaga pemerintah di bidang kefarmasian yaitu Direktorat Urusan Farmasi dan Lembaga Farmasi Nasional.
Direktorat Urusan Farmasi yang semula Inspektorat Farmasi pada tahun 1967 mengharuskan pemekaran organisasi menjadi Direktorat Jenderal Farmasi.
d. Periode Orde Baru
Pada masa orde baru, kebijakan politik, keamanan dan keamanan telah lebih baik daripada pembangunan di semua bidang yang harus dilakukan dengan lebih baik dan terencana.
Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral Pembangunan Nasional, dilaksanakan lengkap dengan pemenuhan fasilitas pelayanan kesehatan dengan pemenuhan pelayanan yang lebih baik dengan pemenuhan yang semakin luas.
Hasil-hasil pembangunan kesehatan yang telah dicapai selama orde baru ini dapat dilihat dengan indikator-indikator penting, antara lain kematian, umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi perbaikan dan perkembangan yang sangat berarti.
Pada periode Orde Baru pula, pengaturan, pengawasan dan pengawasan di bidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan dengan baik.
Terkait pada tahun 1975 pengawasan farmasi yang dikembangkan dengan perubahan Direktorat Jenderal Farmasi menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Berbagai peraturan yang dikeluarkan telah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan sebagai dasar dan landasan untuk perbaikan pembangunan di masa mendatang.
Terhadap distribusi obat telah dilakukan penyempurnaan, terutama penataan kembali apotek melalui Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980. Midian Sirait, Tiga Dimensi Farmasi. Jakarta, Instansi Darma Mahardika. 2001, hal. 2-12.
e. Periode tahun 2000
Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap obat dan makanan tersebut maka pemerintah mengambil kebijakan dengan melakukan perubahan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, yang mana memerlukan Direktorat Jenderal Obat dan Makanan yang bertanggung jawab kepada Departemen Kesehatan, namun sekarang setelah membahas perubahan maka Badan Pengawasan Obat dan Makanan bertanggung jawab untuk Presiden.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan sekarang merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 tahun 2000 dan telah diubah melalui Keputusan Presiden No. 166 tahun 2003.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan memiliki Visi dan Misi dalam menjalankan tugas prinsipnya yaitu:
Visi dari Badan POM:
- Menjadikan sebuah Dukungan pada Nasional atau Internasional dalam rangka Melindungi Kesehatan Masyarakat.
- Secara efektif dan memahami tentang konsep dasar sistem pengawasan produk obat dan makanan nasional dan internasional. Profil Badan POM Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Sedangkan Misi Badan POM :
Melindungi kesehatan masyarakat dari risiko peredaran produk terapetik, alat kesehatan, obat tradisional, produk komplemen dan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat / manfaat serta produk pangan yang tidak aman dan tidak layak dikonsumsi.
Melindungi masyarakat dari bahaya menggunakan dan menggunakan salah satu dari produk obat, narkotik, psikotropik dan zat adiktif serta masalah penggunaan produk dan bahan berbahaya.
Mengembangkan obat asli Indonesia dengan dukungan, khasiat, keamanan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
Memperluas akses obat bagi masyarakat luas dengan mutu yang tinggi dan harga yang terjangkau. Profil Badan POM Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Berkaitan dengan penggunaan teknologi yang meningkatkan maju dan menggunakan tujuan standarnisasi dan sertifikasi persetujuan semaksimal mungkin, maka pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan melaksanakan implementasi sesuai peraturan yang berlaku.
Sesuai dengan prinsip pembangunan yang berkenaan dengan pembangunan yang dilakukan bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan karena itu harus bertanggung jawab bersama pula, maka melalui persetujuan dan pengawasan oleh pemerintah, tujuan pembangunan nasional dapat dicapai dengan baik.
Pemerintah melindungi konsumen dengan cara mengatur produksi, distribusi dan pengedaran produk makanan sehingga konsumen tidak dirugikan baik kesehatan maupun keuangannya.
Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pihak produsen mendukung untuk mengembangkan dan mengembangkan usaha di bidang produksi dan distribusi serta menciptakan usaha perdagangan yang jujur.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dahulunya adalah Direktrorat Jenderal pengawasan obat dan makanan di bawah Departemen Kesehatan yang bertugas dan fungsinya terkait dengan kewenangan di bidang obat dan makanan, disetujui dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 130 / Menkes / SK / I / 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.
Sesuai dengan peraturan-undangan yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan dalam pelaksanaan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu:
Ordonansi tentang Obat Keras
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
Setelah era reformasi berjalan, Badan POM ditetapkan menjadi LPND yang memiliki tugas wajib mengatur di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar lebih terarah pengawasan tersebut, maka akan dilakukan perubahan pada pengaturan dan kewenangannya sebagai LPND harus lebih jelas dan terfokus dan lebih untuk ditekankan pada kebijakan dalam pengawasan di bidang pemerintahan di bidang obat dan makanan, maka Badan POM sebagai LPND memiliki kendali dan wewenang di dalam membuat pengaturan di bidang pengawasan obat dan makanan yang baik hirarkisperlu di bawahnya untuk dapat diterapkan,jelas membutuhkan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan dan melaksanakan hukum atau ketentuan peraturan-undangan tersebut.
Oleh karena itu dalam pelaksanaan tugas pokok dan pengawasan di bidang obat dan makanan, dibentuk Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM).
Peraturan Badan Nomor 64 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen menyetujui beberapa kali perubahan, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 Tahun 2001.
Dalam Pasal 67.
- Pengkajian dan pengurusan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan
- Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan
- Koordinasi Kegiatan Fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM
- Pemantauan bantuan dan pembinaan terhadap kegiatan pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan obat dan makanan
- Penyelenggaraan pembinaan dan administrasi di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, karsipan, hukum, persandingan, perlengkapan dan rumah tangga.
Tugas dari BPOM dalam Kepres No. 166/2000, yaitu dalam Pasal 73 yang membahas tentang BPOM yang mengatur tugas-tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengenai tugas dan wewenang dari BPOM yang lebih spesifik dalam Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 264A / MENKES / SKB / VII / 2003 dan Nomor 02 / SKB / M.PAN / 7/2003 tentang Tugas, Fungsi, dan Kewenangan di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan.
Namun dalam menjalankan tugas tersebut BPOM mendapatkan hambatan, baik itu dari usaha perlindungan, konsumen maupun pemerintah.
Hambatan dari pemerintah tersebut masih merupakan campur tangan dari pemerintah yang menuntut kepentingan pribadi atau golongan, yang disetujui terkendali BPOM sehingga tidak bisa menjalankan tugasnya dengan semestinya.
Sementara dengan 2 peraturan terebut di atas, perlu BPOM memiliki wewenang penuh untuk mengatur tugasnya tanpa campur tangan dari pihak lain. Namun kedua peraturan tersebut rupanya masih kurang kuat dalam menunjang BPOM.
Demikian pula dengan persetujuan Badan POM yang disetujui dalam Pasal 69 Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001
- Penyusunan secara makro di bidangnya
- Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan makro
- Penetapan sistem informasi di bidangnya
- Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat adiktif) khusus untuk makanan dan penetapan izin pengawasan peredaran obat dan makanan
- Pemberian izin dan pengawasan obat dan pengawasan industri farmasi
- Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan pengawasan tanaman obat
Kewenangan Badan POM sebagai lembaga pemerintah non departemen (LPND) dipertanyakan lebih lanjut dan dilaporkan ke dalam Keputusan Presiden Nomor 110 tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 52 tahun 2005.
Pasal 44 Keputusan Presiden Nomor 110 tahun 2001 mengatur Badan POM terdiri dari tiga ke Deputian yang membidangi:
- Pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif
- Pengawasan obat tradisional, produk kosmetik komplemen / suplemen makanan serta
- Pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya.
Badan POM yang memiliki kedudukan yang kuat di dalam membuat kebijakan di bidang obat dan makanan dalam kerangka yang diawasi dengan obat-obatan yang ada di wilayah Indonesia.
Kedudukan Badan POM sebagai lembaga Pemerintah Non Departemen ditinjau dari segi pengaturan peraturan-undangan di Indonesia maka Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, diperintahkan oleh Undang-Undang untuk meminta prakarsa untuk Presiden dalam hal pengajuan perjanjian peraturan-undangan sepanjang menyangkut di bidang pemerintah, di bidang obat dan makanan di dalam rangka mengambil kebijakan yang berlaku untuk peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui Kebijakan Obat Nasional
Menurut SK Menteri Kesehatan. No.25 / Kab / B.VII / 71 tanggal 9 Juni 1971, yang disebut dengan obat atau bahan bahan-bahan untuk digunakan dalam memenuhi diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan, memperelok badan atau bagian tubuh manusia.
Menurut Undang-undang Farmasi obat adalah bahan atau bahan yang diperlukan untuk digunakan dalam menegakkan diagnosa, mencegah, mengurangi, dan menyembuhkan penyakit atau penyakit, luka, atau badaniah kelainan, rohah pada manusia atau hewan.
Sementara, Pengertian Obat dalam arti luas adalah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas memfasilitasinya. http://sebuahsejuk.wordpress.com/2011/09/09/obat-adalah/ diakses pada tanggal 30 September 2013.
Kebijakan Obat Nasional dalam pengertian luas untuk meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tinggi.
Keterjangkauan dan penggunaan obat yang merupakan bagian dari tujuan yang dicapai. Pemilihan obat yang tepat dengan mengutamakan penyediaan obat esensial dapat meningkatkan akses serta kerasionalan penggunaan obat.
Semua obat yang diperlukan harus terjamin keamanannya, khasiat dan mutunya agar memberikan manfaat bagi kesehatan. Bersamaan dengan itu masyarakat harus dilindungi dari salah penggunaan dan dukungan obat.
Dengan demikian tujuan Kebijakan Obat Nasional adalah persetujuan:
- Fokus, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial.
- Keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang dikeluarkan serta melindungi masyarakat dari penggunaan yang salah dan mendukung obat.
Pembangunan di bidang obat menunjukkan pula hasil yang meningkat, sampai tahun pertama Pelita I, sebagian besar kebutuhan obat masih sangat tergantung pada impor.
Oleh karena itu, tantangan obat pada Pelita I dititkberatkan pada produksi obat jadi dalam Negeri. Depkes RI. Kebijaksanaan obat nasional. Jakarta.
Departemen Kesehatan, 1983, hal. 24. Hambatan dalam penelitian dan pemeriksaan obat di masyarakat antar lain adalah harga obat, khusus yang dibeli oleh Penanaman Modal Asing (PMA).
Sebelum krisis moneter, konsumen tidak hanya dapat mempertanyakan jumlah obat yang dikeluarkan, tetapi juga dapat dibeli.
Dengan bantuan kesadaran masyarakat akan kesehatan dan pertumbuhan ekonomi, persentase yang mencari pengobatan akan naik dan penggunaan obat dalam pengobatan itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah perlunya peningkatan koordinasi untuk perbaikan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan ini, dengan didukung oleh peningkatan pembangunan di bidang obat.
Maka dirumuslah KepMenKes RI No. 47 / Menkes / SK / II / 1983 tentang pengalihan obat nasional antara lain penandatanganan distribusi dan pengurusan obat, penandaan, promosi, informasi, dan penyuluhan serta sistem informasi obat.
Dengan dirumuskannya konversi obat nasional tersebut, maka diharapkan penggunaan obat dalam pengobatan mandiri dapat ditingkatkan dan pemeriksakan obat, dapat pula mencegah timbulnya kerugian dan bahaya yang diakibatkan oleh penggunaan yang kurang tepat dan berlebihan.
Oleh karena itu dalam menyelesaikan masalah nasional lakukan perlindungan dan pengawasan serta pembinaan, termasuk juga dalam hal penyediaan informasi melalui promosi agar tidak mengeliminasi penggunaan obat yaitu:
1. Penilaian, Pengujian, dan Pendaftaran
Terhadap obat-obat Nasional, dilakukan juga, menguji dan mendaftarkan untuk memastikan agar obat yang berkhasiat nyata, keamanannya dapat dipertanggungjawabkan, bermutu baik sesuai dengan kebutuhan nyata.
Sementara tujuan lain dari perundingan, pendaftaran dan pendaftaran meningkatkan ketetapan dan penggunaan obat.
Sementara itu, yang diterbitkan pada pendaftaran obat adalah setiap obat yang diedarkan harus melalui proses, pengujian, dan pendaftaran terlebih dahulu.
Selain dilakukan untuk menguji khasiat, keamanan dan mutunya, dilakukan juga untuk kepentingan pemanfaatan.
Dalam pelaksanaan uji klinik perlindungan keselamatan perorangan dan masyarakat harus dipertimbangkan.
Uji klinik diutamakan untuk pengembangan obat baru benar-benar diperlukan sesuai dengan kebutuhan nyata untuk disiapkan dengan kebutuhan lokal Indonesia.
Sementara langkah-langkah dalam melakukan evaluasi, pengujian, dan pendaftaran antara lain berikut ini:
- Melaksanakan Penilaian, menguji, dan mendaftarkan semua obat jadi sebelum diedarkan
- Penilaian dan pengujian kembali obat yang telah diterbitkan, berdasarkan data baru yang terungkap setelah obat diedarkan
- Melaksanakan Penilaian dan menyetujui, serta mendaftarkan bahan baku dari sumber
- Melaksanakan penilaian terhadap obat yang akan digunakan untuk uji klinik, serta melakukan pengawasan pelaksanaannya.
- Melaksanakan kerjasama lintas program, sektoral, regionall, internasional, dalam kerangka pembaharuan, pengujian, dan pendaftaran obat.
- Khusus dalam pembahasan dan pengujian obat hewan dilakuakan kerjasama yang serasi dan saling mengisi dengan Departemen Pertanian.
- Melaksanakan Rasionalisasi nama perdagangan dan penerapan konsepsi nama generik. (Midian Sirait, Op.Cit, hal. 56-58.)
2. Sistem Informasi Obat
Sistem informasi obat yang dilakukan oleh pemerintah ini untuk menunjang pelaksanaan pengawasan, pengawasan dan pengelolaan obat dengan tersedianya informasi yang diperlukan.
Langkah-langkah yang bergerak dalam melakukan sistem informasi obat ini adalah:
- Mengembangkan pusat informasi untuk mengumpulkan, mengelola dan menyebarkan informasi kepada semua pihak yang meminta
- Pengembangan dan Peningkatan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
- Pengembangan dan peningkatan pemantauan dan penggunaan obat, termasuk pemantauan residu obat pada produk hewani dengan kerjasama dengan lembaga yang terkait.
- Pengembangan dan Peningkatan Monotering Kerusakan Obat
- Program pengembangan kerjasama lintas, jalur sektoral, regional, dan internasional dengan peran serta organisasi profesi dalam penggabungan, transportasi, pengelolaan dan penyebaran informasi.
Program informasi obat ini dilaksanakan dan dikelola secara terpadu dengan kerjasama lintas program, lintas sektoral, regional, dan internasional dengan pengikutsertaan semua pihak yang terkait dengan perjuangan-dukungan di bidang obat dan harus dapat menunjang tercapainya tujuan pembangunan di bidang obat.
Perihal konversi obat nasional ini merupakan salah satu tugas dari Departemen Kesehatan, dimana juga merupakan salah satu upaya dalam memberikan perlindungan masyarakat terhadap peredaran dan penggunaan obat.
Instansi yang memiliki tugas melakukan pengawasan obat adalah Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, sebagai unit pertama Departemen Kesehatan yang melakukan prinsip-prinsip perlindungan kesehatan yang melindungi masyarakat.
Keputusan Menteri Kesehatan dan Menteri Penerangan No. 252 / Menkes / SKB / VIII / 80 dan No.122 / Kep / Menpen / 1980 tentang pengawasan dan pengawasan iklan obat, makanan minuman, kosmestika, dan alat kesehatan . Menurut keputusan tersebut, Menteri Kesehatan melakukan pengawasan terhadap materi periklanan melalui kriteria teknis atau etis.
3. Memantau Efek Samping Obat (MESO)
Beredarnya obat-obatan di dalam masyarakat harus memiliki sistem informasi yang efektif, sehingga dapat membantu setiap masalah yang ada di kemudian hari dapat diatasi dengan cepat dan tepat.
Pemantauan adalah suatu sistem pencacatan, analisis, dan evaluasi tentang setiap efek samping yang timbul saat penggunaan obat untuk manusia.
Seharusnya sudah dilakukan evaluasi tentang khasiat, keamanan dan manfaat obat, tetapi ada beberapa efek obat yang hanya diketahui setelah obat digunakan.
Maksud dan tujuan MESO adalah untuk sedini mungkin memperoleh informasi baru tentang efek samping, tingkat kegawatan serta frekuensi kejadiannya, sehingga dapat dilakukan segera melanjutkan yang diperlukan, seperti meningkatkan obat yang dibutuhkan dari peredaran; Mengenai penggunaan obat, misalnya perubahan golongan obat; mempengaruhi indikasi; perubahan penandaan; dan tindakan lain yang dianggap perlu untuk pengamanan atau penggunaan obat.
Menteri Kesehatan RI No. 186 / Menkes / IV / 1980 tanggal 21 Mei 1980, telah membentuk tim MESO Nasional. Dalam penyelanggaraan MESO, Pusat MESO Nasional bertemu dengan WHO, dan dalam kerjasama ini pusat MESO Nasional memproleh informasi mengenai efek samping dari WHO dan memeberikan input aktif untuk WHO. Ibid, hal. 71.
4. Pemeliharaan Mutu Obat
Usaha pemeliharaan mutu obat dititikberatkan pada tanggung jawab produksi obat itu sendiri. Dalam hal ini telah disetujui pelaksanaan produksi dan pemeriksaan mutu yang baik (praktik yang baik dalam pembuatan dan pengendalian kualitas obat-obatan: GMP) dan telah disetujui beberapa peraturan pendukung yang meliputi:
- Keputusan Menteri Kesehatan tentang persyaratan minimal produksi dan pemeliharaan mutu
- Keputusan Menteri Kesehatan tentang peraturan dan distribusi obat yang diperlukan antara lain pabrik farmasi, pemeriksaan tentang bahan baku yang digunakan dan obat jadi produksi.
Sebagai patokan baik untuk produsen maupun untuk pengawasan mutu obat, telah disetujui spesifikasi dan metode pemeriksaan terhadap obat, antara lain Farmakope Indonesia Edisi III dan Extra Farmakope Indonesia.
Telah diterbitkan pula Materi Medika Indonesia yang berisi spesifikasi untuk simplisia. Pengawasan terhadap mutu obat dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan pengambilan sampel terencana dan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan dilakukan oleh Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan di Jakarta dan Balai Pemeriksaan Obat di daerah. Berkaitan dengan pelaksanaan GMP dalam kriteria obat jadi diisyaratkan pula industri farmasi pemohon harus memiliki fasilitas pemeriksaan mutu obat yang lengkap sesuai dengan jenis obat yang didaftarkan.
Tidak sadar pabrik farmasi nasional, persyaratan ini sulit memenangkan. Dengan mempertimbangkan pemeriksan kesempatan menantang, dipikirkan jalan keluar melalui konsepsi “laboratorium gabungan / rujukan” tanpa prinsip GMP. Ibid, hal. 72.
5. Pengaturan dan Pengawasan Obat
Meningkatkan produksi dan distribusi obat jelas memindahkan langkah-langkah dan pengawasan yang tepat dengan bantuan yang terintegrasi, sehingga obat-obatan yang dikeluarkan di masyarakat senantiasa menjamin kualitas, khasiat dan keamanannya. Di samping registrasi obat jadi, beberapa langkah pemerintah di bidang pengawasan dan pemeriksaan produksi dan distribusi.
6. Pengujian Laboratorium
Terhadap obat-obat yang belum disetujui di masyarakat, pemerintah melakukan pengambilan sampel untuk dilakukan pengujian di laboratorium. Badan POM memiliki Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan yang berada di Jakarta.
Dengan adanya laboratorium-laboratorium tersebut, maka langkah pengawasan akan dapat dilakukan dengan lebih baik, dan setiap ada bentuk kemunduran semua obat yang dibutuhkan akan dapat dideteksi lebih awal sebelum berakibat luas di masyarakat.
7. Pemeriksaan Sarana Produksi dan Distribusi
Karena keterbatasan Tenaga dan fasilitas, pemeriksaan lokal belum dapat dilakukan dengan baik. Pada dewasa ini, pemeriksaan produksi dan distribusi dapat dilakukan dengan lebih baik, lebih intensif yang dilakukan oleh petugas kepolisian khusus (POLSUS) Badan POM.
Pengadaan dan Pendidikan POLSUS ini akan diperbaiki terus-menerus Badan POM dapat melakukan tindakan cepat dan tepat yang dilakukan kasus-kasus yang dihadapi di bidang produksi dan distribusi obat.
Adanya aparat yang memiliki wewenang polisional terbatas ini banyak hal yang akan dapat dilindungi masyarakat luas terhadap obat-obatan palsu atau obat-obat sub-standar. Ibid, hal. 73
8. Distribusi dan Pelayanan Obat
Pola sistem dan tatalaksana distribusi harus aman lalu lintas dan penggunaan obat keabsahan dan jaminan obat. Distribusi obat-obatan khusus untuk masyarakat harus profesional. Pemeranan obat untuk masyarakat antara lain dilakukan dengan mengembangkan perwujudan asas kegotongroyongan dalam pembiayaan.
Adapun tujuan dari distribusi obat antara lain:
- Distribusi obat terlayani dan berhasil yang disediakan distribusi obat dan lengkap dapat disediakan oleh yang dibutuhkan pada saat dibutuhkan.
- Terjaminnya kualitas dan keabsahan obat serta ketepatan, kerasionalan dan efisiensi penggunaan obat
- Terlaksananya pengamanan lalu lintas dan penggunaan obat
- Pemerataan pelayanan obat kepada masyarakat
Sementara langkah-langkah yang diambil dalam distribusi dan pelayanan obat adalah:
- Mengembangkan distribusi obat yang memadai untuk setiap tingkat dan unit kesehatan pemerintah dan meningkatkan distribusi obat agar lebih berdayaguna dan berhasilguna.
- Penyempurnaan sistem distribusi obat untuk meningkatkan hasil pengguna dan berdayaguna dengan mempertimbangkan distribusi dan memeriksa pengaturan distribusi sesuai dengan kebutuhan.
- Menentukan cara distribusi yang lebih baik, termasuk pemelihara mutu.
- Memperluas, meratakan, dan meningkatkan mutu pelayanan bagi masyarakat, melalui apotik dan penyediaan pelayanan obat-obatan lainnya.
- Meningkatkan kerjasama yang serasi antara profesi farmasi dan profesi kedokteran dalam pelayanan obat kepada masyarakat. Midian Sirait, Laporan Penyusunan Kebijakan Obat Nasional di Sidang Senat Institut Teknologi Bandung, 28 November 1992, hal. 8.
Leave a Reply